Mengapa Perlu Belajar Logika? Bagian 2

Fallacy Detective CoverLogika dan Moralitas
Apa hubungan antara hukum logika ini dengan moralitas? Singkat saja:  Pada saat Alkitab mengatakan: “Jangan mengingini,” maka kata [yang digunakan] memiliki arti yang spesifik. Menyerang logika sama saja dengan menyerang moralitas. Jika logika dihina, maka pembedaan antara benar dan salah, baik dan jahat, adil dan tidak adil, kasar dan lemah lembut, akan hilang. Tanpa logika, maka Firman Tuhan, “Jangan membunuh,” bisa berarti: “Bunuhlah orang setiap hari!” atau “Stalin adalah Prince of Wales,” atausemua yang lain.  Ini berarti bahwa tanpa logika, kata apapun tidak bermakna. Penolakan akan logika sama dengan akhir dari moralitas, karena moralitas dan etika tergantung pada pengertian. Orang harus memahami Kesepuluh Hukum untuk menaatinya. Jika logika tidak relevan atau bukan sesuatu yang religius/yang ada hubungannya dengan kehidupan beragama, maka perilaku bermoral tidak mungkin [ada] dan agama “praktis” dari mereka yang merendahkan logika tidak dapat dipraktekkan sama sekali.

Ada akibat yang lebih buruk, (seandainya ada kategori lebih buruk), kalau [kita] menolak logika. Jika logika tidak mencakup seluruh bidang kehidupan, maka orang tidak dapat membedakan antara benar dan salah. Jika seorang menolak logika, maka ketika Alkitab mengatakan bahwa Yesus menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan bangkit kembali pada hari ketiga; itu bisa berarti Yesus tidak menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, tidak disalibkan, tidak mati dan tidak bangkit kembali pada hari ketiga. Itu juga bisa berarti bahwa Attila the Hun suka coklat dan bermain golf. Pembedaan antara benar dan salah, baik dan buruk akan lenyap karena tidak akan ada pembedaan di luar hukum kontradiksi. Makna akan lenyap dengan sendirinya [kalau logika tidak digunakan].

Penolakan atas logika menjadi sangat populer dalam abad ke-20. Tampaknya penolakan ini akan berlanjut sampai ke abad ke-21. Terkait moralitas, seringkali kita mendengar, “Tidak ada hitam atau putih, yang ada hanya abu-abu.” Ini berarti bahwa tidak ada yang baik dan buruk; semua tindakan dan alternatifnya adalah campuran baik dan buruk. Jika seseorang meninggalkan logika seperti yang telah dilakukan beberapa orang, maka dia tidak bisa membedakan antara baik dan jahat – segala sesuatu diperbolehkan. Hasil dari penolakan terhadap logika– pembunuhan massal, perang, kelaparan yang ditimbulkan pemerintah, aborsi, pelecehan terhadap anak, perusakan terhadap keluarga, dan segala macam kejahatan – sangat jelas di sekitar kita. Penolakan terhadap logika telah mengakibatkan ditinggalkannya moralitas dan akan terus meninggalkan moralitas.

Terkait dengan pengetahuan, kita diberitahu bahwa kebenaran itu relatif; bahwa apa yang benar menurut anda mungkin tidak benar untuk saya. Jadi 2 tambah 2 sama dengan 4 untuk anda, sedangkan untuk saya  sama dengan 6,7. Jika logika ditinggalkan, maka itu akan terjadi. Kekristenan benar untuk beberapa orang dan Budhisme benar untuk yang lain. Salah satu hasilnya adalah berkembangnya antipati terhadap Kekristenan karena mengajarkan bahwa semua manusia sudah berdosa dan hanya ada satu jalan kepada Allah yaitu lewat Yesus Kristus. Kebenaran Absolut- yang sebenarnya merupakan frase mubazir telah digantikan oleh kebenaran relatif yang sebenarnya merupakan sebuah frase kontradiksi seperti halnya lingkaran persegi  empat. Jadi kalau logika hilang, maka kebenaranpun lenyap.

Logika bukan sebuah pilihan. Logika sangat mendasar. Begitu mendasarnya sehingga mereka yang menyerangnyapun harus menggantungkan diri pada logika untuk menyerang logika. Pada saat mengatakan/menulis “Logika tidak valid” mereka menanggap bahwa kalimat itu memiliki makna yang spesifik. Penantang logika harus menggunakan hukum kontradiksi untuk membantah logika. Mereka mengasumsikan kesyahihan hukum kontradiksi untuk mengatakan bahwa hukum ini tidak syahih. Mereka harus mengasumsikan bahwa hukum ini benar agar mereka dapat mengatakan bahwa dia salah. Mereka harus mengemukakan argumen untuk meyakinkan kita bahwa argumen kita tidak valid. Kemanapun mereka melarikan diri, mereka terkurung. Mereka tidak dapat menyerang obyek yang mereka benci tanpa menggunakannya sebagai senjata untuk menyerang. Mereka seperti tentara Romawi yang menangkap Yesus, yang tidak sadar bahwa posisi dan tindakan mereka tergantung pada aturan yang mereka tolak. Mereka harus menggunakan aturan logika untuk merendahkan logika; sama seperti tentara itu harus Yesus sembuhkan sebelum dia bisa menangkap Yesus.

Alkitab dan Logika 
Dalam pasal pertama Injil Yohanes, dia menulis “Pada mulanya adalah LogosLogos itu bersama-sama dengan Allah dan Logos itu adalah Allah. Kata bahasa Yunani Logos biasanya diterjemahkan sebagai Firman, tetapi sebenarnya lebih baik diterjemahkan sebagai Logika atau Hikmat. Kata bahasa Inggris Logic (Ma Kuru: yang diterjemahkan Logika) berasal dari kata bahasa Yunani logos. Yohanes menyebut Yesus Kristus sebagai Logika Allah. Pada ayat sembilan dia menyebut Yesus sebagai “Terang yang sesungguhnya” yang menerangi setiap orang dan sedang datang ke dunia. Dengan kata lain, tidak ada yang namanya “logika manusia” dan “logika Allah” seperti yang beberapa orang ingin kita percayai. Logika Allah menerangi setiap orang: logika manusia adalah gambar Allah. Allah dan manusia berpikir dengan cara yang sama – tetapi dengan isi/kandungan pikiran yang berbeda, karena manusia berdosa dan Allah suci. Tetapi baik Allah dan manusia berpikir bahwa 2 tambah 2 sama dengan 4 dan bahwa A tidak mungkin non-A. Baik Allah maupun orang Kristen berpikir bahwa hanya dengan korban penggantian Yesus Kristus yang memungkinkan orang berdosa masuk Surga. Hukum-hukum logika adalah cara Allah berpikir. Dia tidak berbuat kesalahan, tidak pernah berargumen yang tidak valid. Tetapi kita manusia melakukan itu dan ini adalah salah satu alasan mengapa kita diperintahkan oleh Rasul Paulus untuk menundukkan segala pikiran kepada Kristus. Kita perlu berpikir seperti Kristus berpikir – yaitu secara logis.

Mengapa belajar logika?
Kita kembali ke pertanyaan awal, Mengapa kita [perlu] belajar logika? Jawaban pertama kita adalah bahwa kita diperintahkan oleh Alkitab. Tanpa belajar bagaimana berpikir dengan tepat, kita akan menyalahartikan Alkitab. Petrus memperingatkan kita akan orang-orang yang memutarbalikkan Kitab Suci dan mengutuk diri sendiri karena itu. Belajar logika akan membantu kita menghindarkan diri dari pemutarbalikkan terhadap Kitab Suci dimana kita mengatakan sesuatu yang bukan merupakan kesimpulan dari Alkitab. Pengakuan Iman Westmister yang ditulis di Inggris tahun 1640-an mengatakan bahwa segala sesuatu yang perlu untuk iman dan kehidupan dinyatakan secara eksplisit dalam Alkitab atau yang dideduksi melalui kesimpulan yang baik dan diharuskan/tidak terelakkan (good and necessary consequence). Hanya dengan belajar logika kita bisa membedakan kesimpulan yang baik dan diharuskan dan deduksi  yang tidak valid.

Logika tidak bisa ditinggalkan bukan hanya saat membaca Alkitab, tetapi juga saat membaca sejarah, botani atau program komputer. Logika diterapkan pada semua pemikiran. Argumen yang bermasalah bisa ditemukan dalam setiap bidang kehidupan. Mempelajari logika membantu kita memahami bidang lain dengan lebih baik, bukan hanya teologi. Karena itu Allah berfirman lewat nabi Yesaya, “Marilah, baiklah kita berperkara!” (Catatan penterjemah: dalam berperkara ada adu argumentasi.)

Terjemahan tulisan John W. Robbins dalam kata pengantar buku Logictulisan Gordon H. Clark. Terjemahan Ma Kuru

Tulisan di atas  mendorong kita belajar logika dan buku The Detective Fallacy yang saya terjemahkan ke Bahasa Indonesia merupakan awal mudah untuk belajar logika. Informasi tentang terjemahan buku ini dapat diperoleh di sini dan cara membeli buku ini dapat dibaca di sini

Pos ini dipublikasikan di Kutipan Buku dan tag , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Mengapa Perlu Belajar Logika? Bagian 2

  1. Ping balik: Mengapa Perlu Belajar Logika? Bagian 1 | Detektif Sesat Pikir

Tinggalkan Komentar anda, berisi nama dan tempat tinggal anda. Misalnya: Joni (Kupang)